lingkaranrakyat.com – Warga Uighur yang mengasingkan diri mendesak Mahkamah Pidana Internasional (The International Criminal Court/ICC) untuk menyelidiki China atas dugaan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka mengajukan sejumlah bukti ke pengadilan yang berbasis di Den Haag, Belanda, atas kasus mereka ini.
Seperti dilansir AFP, Rabu (8/7/2020), bukti-bukti yang diserahkan kepada jaksa ICC itu, menuduh China menyekap lebih dari satu juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di kamp-kamp pendidikan kejuruan dan mensterilkan perempuan secara paksa.
China menyebut tuduhan sterilisasi paksa tidak berdasar dan mengatakan fasilitas di wilayah barat laut Xinjiang adalah pusat pelatihan kerja yang bertujuan menjauhkan orang dari terorisme.
“Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah bagi kita,” kata Salih Hudayar, Perdana Menteri dari pemerintah Turkistan Timur dalam pada konferensi pers virtual yang diadakan di Washington dan Den Haag.
China bukan anggota ICC, namun pengacara untuk Uighur mengatakan ICC dapat mengikuti contoh penyelidikan yang sedang berlangsung terhadap perlakuan terhadap Muslim Rohingya oleh Myanmar, yang juga bukan merupakan pihak dalam pengadilan.
Hakim-hakim ICC memutuskan pada 2018 bahwa penyelidikan Rohingya dapat dilanjutkan karena situasi di Myanmar mempengaruhi orang-orang di negara tetangga Bangladesh, yang merupakan anggota ICC.
Rodney Dixon, seorang pengacara hak asasi manusia (HAM) untuk Uighur yang tinggal di London, mengatakan itu adalah “terobosan bersejarah” dan “mudah-mudahan ada suatu perubahan saat ICC sekarang dapat bertindak.”
Bukti yang diajukan ke pengadilan menunjukkan bahwa China bersalah atas “tindakan represif yang keras” selama lebih dari satu dekade, katanya dalam konferensi pers dari Den Haag.
“Ini termasuk penahanan massal lebih dari satu juta orang, pembunuhan, penghilangan, penyiksaan, dan testimoni soal sterilisasi dan tindakan pengendalian kelahiran yang mengerikan,” kata Dixon.
Dokumen tersebut berisi daftar anggota senior Partai Komunis China yang diduga bertanggung jawab atas perawatan warga Uighur termasuk Presiden Xi Jinping.
Dixon mengatakan mengikuti contoh kasus Myanmar yang dimulai oleh jaksa ICC tahun lalu menunjukkan ada “cara yang jelas yang memungkinkan ICC untuk menjalankan yurisdiksi.”
Kasus ini dimungkinkan karena kejahatan termasuk deportasi paksa kembali ke China terjadi di Tajikistan dan Kamboja, yang keduanya adalah anggota ICC.
ICC tidak memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan pengaduan yang diajukan kepada jaksa penuntut, yang memutuskan secara independen kasus apa yang akan diajukan kepada hakim di pengadilan, yang dibentuk pada 2002 untuk mencapai keadilan bagi kejahatan terburuk dunia.